LEMBAGA BANTUAN HUKUM

LBH merupakan sebuah lembaga yang non  profit, lembaga bantuan hukum ini didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bantuan hukum secara gratis (cuma-cuma) kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, namun tidak mampu, buta hukum dan tertindas, arti cuma-cuma yaitu tidak perlu membayar biaya (fee) untuk pengacara, tapi untuk biaya operasional seperti biaya perkara di pengadilan (apabila kasus sampai ke pengadilan) itu ditanggung oleh si klien, itupun kalau klien mampu. Tetapi biasanya LBH-LBH memiliki kekhususan masing-masing dalam memilih kasus yang akan ditanganinya sesuai dengan visi-misinya.

PUBLIK LAINYA JUGA BISA BERGABUNG DALAM LEMBAGA BANTUAN HUKUM
Dalam konteks UU Bantuan Hukum UU NO. 16 TAHUN 2016 TENTANG LBH
bisa dikatakan bahwa untuk menjalankan fungsi seperti proses konsultasi, pendidikan hukum, investigasi maupun dokumentasi dapat dilakukan oleh pembela publik lainnya, namun untuk menghadap di persidangan tetap harus dilakukan seorang Advokat. 

ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
UU Bantuan Hukum dilaksanakan atau diselenggarakan berdasarkan asas-asas bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ini berbunyi:
1. Keadilan
2. Kersamaan kedudukan di dalam hukum
3. Keterbukaan
4. Efisiensi
5. Efektivitas
6. Akuntabilitas
Dalam penjelasan Pasal 2 yang dimaksud dengan asas-asas ini yaitu:
1. Asas keadilan: 
Menempatkan hak dan kewajiban setiap orang secara proporsional, patut, benar, baik, dan tertib.
2. Asas persamaan kedudukan di dalam hukum:
Bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum.
3. Asas keterbukaan:
Memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar, jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara konstitusional.
4. Asas efisiensi: 
Memaksimalkan pemberian Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada.
5. Asas efektivitas: 
Menentukan pencapaian tujuan pemberian Bantuan Hukum secara tepat.
6. Asas akuntabilitas: 
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Bantuan Hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
UU Bantuan Hukum lahir atas tujuan-tujuan khusus sehingga tujuan dari Penyelenggaraan Bantuan Hukum termuat dalam bunyi Pasal 3 yakni:
(1) Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum (fakir miskin) untuk mendapatkan akses keadilan.
(2) Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum
(3) Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
(4) Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan
Ruang Lingkup Pemberian Bantuan Hukum tercantum dalam Pasal 4 dan pasal 5. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa:
(1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum.
(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.
(3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.

SYARAT-SYARAT BAGI PENERIMA BANTUAN HUKUM

Dalam UU Bantuan Hukum pengertian tentang Penerima Bantuan Hukum terdapat dalam Pasal 5 yang berbunyi:

(1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.

(2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.

Menurut penulis rumusan pengertian Penerima Bantuan hukum ini telah mengalami penyempitan makna dari “orang yang tidak mampu” menjadi “orang yang tidak mampu secara ekonomi”. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan orang atau kelompok tidak mampu lainnya, antara lain orang atau kelompok yang termarjinalkan karena suatu kebijakan publik; Orang atau kelompok yang hak-hak sipil dan politiknya terabaikan; Komunitas masyarakat adat; perempuan dan penyandang cacat hingga mereka para korban pelanggaran hak-hak dasar seperti penggusuran dan lain-lain.

Penyempitan makna ini jelas berbenturan dengan semangat Konstitusi, sehingga hal ini mesti di diskusikan kembali oleh para Pembuat dan Pengambil Kebijakan sebelum Undang-Undang ini diberlakukan.

Penerima Bantuan Hukum yang diterjemahkan dengan orang orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, memang tidak begitu saja bisa memperoleh atau mengakses bantuan hukum sebagaimana yang diamanatkan. Hal ini bisa dilihat dalam syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:

(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi syarat-syarat:
a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;

b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan

c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.

(2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.

Sementara itu syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum juga diatur dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) yang berbunyi:

(1) Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan Hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum.

(2) Pemberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan Bantuan Hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan Bantuan Hukum.

(3) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum diterima, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum.

(4) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan Hukum mencantumkan alasan penolakan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Proses dengan menyampaikan permohonan melalui surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum bisa dimanipulasi. Hal ini karena tidak semua orang miskin terdata di kelurahan atau desa dimana dia menetap dan pada saat yang sama praktek jual beli surat miskin akan terjadi jika tidak mendapatkan kontrol ketat dari masyarakat dan atau pemberi bantuan hukum sendiri.

Terimakasih semoga bermanfaat
TIM LBH MRKN

Komentar

  1. Ass.pa saya mau tanya
    Mobil saya di tarik oleh Adira.tunggakan saya waktu penarikan 2 bulan setelah saya beniat untuk membayar Adira sudah melelangnya tanpa sepengetahuan saya
    Jadi bgmana itu pa mohonsaran dan oetunjuk

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer